A.
Latar
Belakang
Telah
diketahui bahwa pernikahan adalah merupakan sunatullah, bahwa makhluk yang
bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, baik laki-laki maupun perempuan
(Q.S.Dzariat :49).
“dan segala sesuatu kami ciptakan
berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran allah”.
Perkawinan merupakan suatu hal yang
penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah
tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan
masyarakat.
Hubungan antara seorang laki - laki
dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT
dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan
antara laki - laki dn perempuan yang diatur dengan perkawinan ini akan membawa
keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun
perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada
disekeliling kedua insan tersebut.
Dalam agama samawi, masalah
perkawinan mendapat tempat yang sangat terhormat dan sangat terjunjung tinggi
tata aturan yang telah ditetapkan dalam kitab suci. Negara Indonesia misalnya,
masalah perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sehingga pemerintah Indonesia sejak Proklamasi
Kemerdekaan hingga sekarang menaruh perhatian yang sangat serius dalam hal
perkawinan ini.
Pada makalah ini akan dijelaskan
tentang masalah perkawinan menurut fiqh islam, kompilasi hukum islam, dan
undang – undang perkawinan.
Rumusan masalah:
1. Apa
pengertian perkawinan ?
2. Bagaimana dasar
hukum perkawinan?
3. Apa hikmah
perkawinan ?
4. Bagaimana
perbandingan antara fiqh, kompilasi hukum islam, dan undang
undang perkawinan.
Dengan
adanya penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang hukum nikah
sesuai syara’, dan hal hal yang berkaitan denganya.
B. Pembahasan
1. Pengertian
Perkawinan
Perkawinan dalam fiqh bahasa arab
disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan
zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja
terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti bergabung, hubungan
kelamin, dan juga berarti akad.
Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama
dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan hanya untuk
mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga perkenalan antara
suatu kaum dengan kaum yang lainnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[2]
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan
yang merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan
pelaksanaanya adalah merupakan ibadah.[3]
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan
masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang
menurut perundang-undangan yang berlaku.
2. Hukum
Perkawinan
Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu
untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam - macam, maka
hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam.
a.
Sunnah, bagi orang
yang berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga dapat memberikan
nafkah kepada istrinya dan keperluan - keperluan lain yang mesti dipenuhi.
b.
Wajib, bagi orang
yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan terjerumus
dalam perzinaan.
c.
Makruh, bagi orang
yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan karena tidak mampu memberikan belanja kepada
istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.
d.
Haram, bagi orang
yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia -
nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi
belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.
e.
Mubah, bagi orang -
orang yang tidak terdesak oleh hal - hal yang mengharuskan segera nikah atau
yang mengharamkannya.
3.
Rukun dan
Syarat Perkawinan
Rukun perkawinan adalah sebagai berikut :
a.
Calon suami
b.
Calon istri
Syarat – syarat calon mempelai :
1)
Keduanya
jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut
nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya.
2)
Keduanya
sama-sama beragama islam.
3)
Antara
keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
4)
Kedua belah
pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula pihak yang akan mengawininya. UU
Perkawinan mengatur persyaratan persetujuan kedua mempelai ini dalam Pasal 6
dengan rumusan yang sama dengan fiqh. Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua mempelai. KHI mengatur persetujuan kedua mempelai itu dalam
Pasal 16.
5)
Keduanya
telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
Batas usia
dewasa untuk calon mempelai diatur dalam UU Perkawinan pada Pasal 7 dan KHI
mempertegas persyaratan tersebut.
c.
Wali nikah
dari mempelai perempuan
Syarat – syarat wali :
1)
Telah dewasa
dan berakal sehat
2)
Laki – laki.
Tidak boleh perempuan.
3)
Muslim
4) Orang merdeka
5)
Tidak berada
dalam pengampuan
6)
Berpikiran
baik
7)
Adil
8)
Tidak sedang
melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
UU Perkawinan sama sekali tidak menyebutkan adanya wali, yang disebutkan
hanyalah orang tua, itupun kedudukannya sebagai orang yang harus dimintai
izinnya pada waktu melangsungkan perkawinan. Hal itu diatur dalam Pasal 6 ayat
(2), (3), (4), (5), dan (6). KHI berkenaan dengan wali menjelaskan secara
lengkap mengikuti fiqh dalam Pasal 19, 20, 21, 22, dan 23.
d.
Dua orang
saksi
Syarat – syarat saksi :
1)
Saksi itu
berjumlah paling kurang dua orang.
2)
Kedua saksi
itu adalah bergama islam.
3)
Kedua saksi
itu adalah orang yang merdeka.
4)
Kedua saksi
itu adalah laki – laki.
5)
Kedua saksi
itu bersifat adil.
6)
Kedua saksi
itu dapat mendengar dan melihat.
UU Perkawinan tidak menghadirkan saksi dalam syarat-syarat perkawinan,
namun menghadirkan saksi dalam Pembatalan Perkawinan yang diatur dalam Pasal 26
ayat (1). KHI mengatur saksi dalam perkawinan mengikuti fiqh yang terdapat
dalam Pasal 24, 25, dan 26.
e.
Ijab dan
Qabul
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan
dari pihak kedua.
Syarat – syarat akad nikah :
1)
Akad harus
dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.
2)
Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda.
3)
Ijab dan qabul
harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.
4)
Ijab dan qabul
mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang.
UU
Perkawinan tidak mengatur tentang akad pernikahan, namun KHI secara jelas mengatur
dalam Pasal 27, 28, dan 29.
4. Dasar Hukum Perkawinan
1. Menurut Fiqh
Munakahat
a.
Dalil
Al-Qur’an
Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut:
” Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil
terhadap anak yatim, maka kawinilah
perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat dan jika kamu
takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang.” (An-Nisa : 3).
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk
melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil
didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain
yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan
poligami dengan syarat - syarat tertentu.
Menurut
Al-Qur’an, Surat Al A’raaf ayat
189 berbunyi : “Dialah yang menciptakan kamu dari suatu zat dan daripadanya
Dia menciptakan istrinya agar Dia merasa senang.” (Al A’raaf : 189).
Sehingga perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga anatar suami
istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan
tenteram (Sakinah), pergaulan yang
saling mencintai (Mawaddah) dan
saling menyantuni (Rohmah).
b.
Dalil
As-Sunnah
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah yang bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa dioantara
kalian memiliki kemampuan, maka nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan
pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak memiiki kemampuan itu,
hendaklah ia selalu berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali baginya. (H.R.Bukhari-Muslim).
2.
Menurut
Undang – Undang Perkawinan tahun 1974
Landasan hukum terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang rumusannya.
Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan –
peraturan, pereundang – undangan yang berlaku.
3.
Menurut
Kompilasi Hukum Islam
Dasar
perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa :
Perkawinan
menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan
ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.
C.
Hikmah
Perkawinan
1.
Perkawinan
dapat menentramkan jiwa dan menghindarkan perbuatan maksiat.
2.
Perkawinan
untuk melanjutkan keturunan
3.
Bisa saling
melengkapi dalam suasana hidup dengan anak – anak.
4.
Menimbulkan
tanggung jawab dan menimbulkan sikap rajin dan sungguh – sungguh dalam mencukupi keluarga.
5.
Adanya
pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah tangga dan yang lain bekerja diluar
(mencari nafkah).
6.
Menumbuhkan
tali kekeluargaan dan mempererat hubungan.
D.
Analisis
Perbandingan
1. Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan
Fiqh Munakahat sebagai hukum agama
mendapat pengakuan resmi dari UU Perkawinan untuk mengatur hal – hal yang
berkaitan dengan perkawinan. Dengan melihat Pasal 2 ayat (1) tentang
landasan hukum perkawinan itu berarti bahwa apa yang dinyatakan sah menurut
fiqh munakahat juga disahkan menurut UU Perkawinan. UU Perkawinan secara
prinsip dapat diterima karena tidak menyalahi ketentuan yang berlaku dalam fiqh
munakahat tanpa melihat mazhab fiqh tertentu.
2. KHI dan UU Perkawinan
KHI disusun dengan maksud untuk
melengkapi UU Perkawinan dan diusahakan secara praktis mendudukkannya sebagai
hukum perundang-undangan meskipun kedudukannya tidak sama dengan itu dan
materinya tidak boleh bertentangan dengan UU Perkawinan untuk itu seluruh
materi UU Perkawinan disalin ke dalam KHI meskipun rumusannya sedikit berbeda.
Pasal-pasal KHI yang diatur diluar perundang-undangan merupakan pelengkap yang
diambil dari fiqh munakahat, terutama menurut mazhab Syafi’iy.
3. Fiqh Munakahat dan KHI
Di atas telah dijelaskan hubungan
antara fiqh munakahat dengan UU Perkawinan tentang perkawinan dengan
segala kemungkinannya. dan dijelaskan pula bahwa KHI adalah UU Perkawinan yang
dilengkapi dengan fiqh munakahat atau dalam arti lain bahwa fiqh munakahat
adalah bagian dari KHI. Fiqh munakahat yang merupakan bagian dari KHI tidak
seluruhnya sama dengan fiqh munakahat yang terdapat dalam mazhab yang dianut
selama ini mazhab Syafi’iy.
E. Simpulan
Perkawinan dalam fiqh berbahasa arab
disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan
zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja
terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti bergabung, hubungan
kelamin, dan juga berarti akad.
Salah satu hikmah perkawinan adalah
bisa menghindarkan perbuatan maksiat dan melanjutkan keturunan.
Dasar hukum perkawinan menurut fiqh
salah satunya yaitu disebutkan dalam Al-qur’an Surat An-Nisa’ ayat 3 dan dalil
As-Sunnah diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah. Perkawinan
diatur dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) dan menurut
KHI diatur dalam Pasal 2 dan 3.
Apa yang dinyatakan sah menurut fiqh
munakahat juga disahkan menurut UU Perkawinan. KHI adalah UU Perkawinan yang
dilengkapi dengan fiqh munakahat atau dalam arti lain bahwa fiqh munakahat
adalah bagian dari KHI. Fiqh munakahat yang merupakan bagian dari KHI tidak
seluruhnya sama dengan fiqh munakahat yang terdapat dalam mazhab yang dianut
selama ini mazhab Syafi’iy.
semoga bermanfaat guys..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar